Jingga dalam Senja dan Hujan
Biasanya senja berwarna merah di ufuk barat sana, tapi
sepertinya sore ini tidak. Senja sedang berkabung. Hingga awan hitam ikut
menyelimutinya. Entah duka seperti apa, namun senja sudah rindu pada jingga
yang tiap petang menemaninya. Lalu pada rintik yang mana kau akan mampu
bersahabat dengan hujan? Tidak! Aku tak akan pernah mau bersahabat dengan
hujan. Hujan selalu merenggut jingga dariku. Hujan seperti air mataku yang
mengalir tiap jingga tak mau berkunjung ke teras rumahku seperti setiap sore.
Aku tak akan mau memaafkan, meski hujan membasahi seluruh tubuhku dan berkata
maaf. Aku tak akan!
Angin berhembus pelan. Seperti biasa, ia kembali mengabarkan
bahwa jingga tak akan berkunjung sore ini. Haruskah aku menggulirkan air mataku
lagi? Aku sudah lelah jingga. Tidak tahu kah kamu?
“Kau tak perlu berucap wahai Angin. Aku sudah hafal. Bahkan
sangat hafal. Jingga tak akan datang petang ini. Dan aku akan kembali sendiri.
Menangisi kesunyian yang merenggut kebahagiaanku dengan jingga,”ucap Senja
pilu. Angin berjalan mendekat. Senyumnya memberikan kesejukan pada
sekelilingnya.
“Pangeran Senja yang tampan, hamba kesini bukan untuk
melihatmu bersedih. Hamba ditugaskan oleh Putri Jingga untuk menghantarkan
ini.” Angin menyerahkan sebuah gulungan surat yang berlapiskan beludru berwarna
merah delima. Cantik sekali. Alis senja mengerut dan perlahan membuka gulungan
surat itu.
“Pada angin
kusampaikan gulungan rindu yang selalu saja merintik bersama hujan Tiap tetes
yang jatuh ke tanah, adalah air mata rindu yang membentang sepanjang langit. Di
setiap awan yang berjalan berarakan, ada kata doa yang kuselipkan untukmu.
Jangan kau salahkan Hujan, ia tak tahu kisah kita seperti apa. Bersabarlah.”
Bukan aku tak mau
datang Senja, aku hanya sedang beristirahat dari tugasku. Kau tahu bukan
tugasku bukanlah tugas yang sepele. Aku harus membentangkan sayapku sepanjang
garis langit. Agar langit di kerajaanmu bisa berwarna cantik sepertiku, katamu.
Untuk itulah aku harus menyimpan cukup tenagaku agar bisa bersinar esok petang.
Kau jangan murung lagi Senja, ya?
Jingga
Senja tersenyum. Betapa ia sangat mencintai Jingga. Lama
mereka telah bersama, namun Hujan seringkali memisahkan pertemuan mereka. Tak
menjadi soal sebenarnya jika sehari saja mereka tak bertemu. Namun, ini sudah
hampir satu minggu Senja tak bertemu dengan Jingga. Dia seperti kehilangan
cahaya petangnya, seperti hari ini. Hujan sangat deras mengguyur bumi. Seolah
air langit sangat melimpah untuk dicurahkan ke seluruh bagian bumi. Ahh, Jingga,
aku tetap saja belum bisa memaafkan Hujan. Ia sudah merampas pertemuan kita.
Bukan hanya sekali dua kali, namun sudah berkali-kali.
“Hamba mengerti kegusaran Pangeran. Bersabarlah Pangeran.
Sebentar lagi Hujan akan selesai dari tugasnya. Masih ada sedikit waktu bagi
Pangeran untuk bertemu Putri Jingga,” kata Angin.
“Benarkah? Petang ini aku boleh menemuinya? Ke istananya?”
tanya Senja.
“Iya, Pangeran. Baru saja angin dari istana Putri Jingga
mengabarkan demikian.”
“Ohh.. Baiklah. Paman, maukah kau menemaniku ke istana
Jingga?” tanya Senja berapi-api. Rupanya ia sudah tak mampu membendung rindu
pada kekasihnya.
“Dengan senang hati, Pangeran.”
Langit sudah bersinar cerah. Sehabis hujan biasanya Peri
Pelangi akan menjalankan tugasnya. Mereka akan berbondong-bondong menaburkan
bubuk warna warni sambil menarikan lagu cinta dari Ratu Pelangi.
“Paman, kau pernah mendengar cerita tentang Tuan Matahari
dan Ratu Pelangi?” tanya Senja.
“Cerita yang mana, Pangeran?”
“Tentang Tuan Matahari yang pernah cemburu terhadap Hujan?
Bukankah itu belum lama ini terjadi?” Senja mengerutkan dahinya. Sepertinya ia
pernah mendengan kisruh itu dari Jingga.
“Iya, Pangeran. Namun itu sudah lama berlalu. Hujan tetap
bersahabat dengan Ratu Pelangi, namun Tuan Matahari tak lagi mempermasalahkan
pertemuan mereka. Karena bagaimanapun juga tugas Ratu Pelangi tetap akan
membutuhkan Hujan,” jelas Angin.
“Ehmm.. Jingga tak pernah menjelaskan bagaimana kelanjutan
cerita itu. Jadi aku hanya menyimpan pertanyaan itu. Dan, terima kasih Paman
sudah menjelaskan,” ucap Senja.
“Sama-sama, Pangeran. Sebentar lagi kita sampai ke istana
Putri Jingga.”
Senja tak mampu membendung rasa bahagianya. Sebentar lagi
dia akan bertemu Jingga, kekasihnya. Namun, sepertinya pertemuan itu harus
ditunda, karena langit tiba-tiba gelap dan Hujan kembali mengguyur bumi. Kereta
Senja yang menghantarkannya ke istana Jingga basah kuyup.
“Maaf, Pangeran. Tapi kita harus kembali. Hujan kembali
mengguyur dan kita tak akan bisa masuk istana Putri Jingga,” ucap Angin panik.
“Kita sudah hampir sampai bukan? Kenapa tak langsung saja
kita ke istananya, Paman?”
“Maafkan hamba, Pangeran. Namun peraturannya demikian. Jika
Hujan sudah turun, maka pintu istana Putri Jingga akann ditutup. Dan tak ada
yang boleh berkunjung lagi,”jelas Angin.
“Kenapa Hujan selalu menghalangi pertemuanku dengan
Jingga?”geram Senja. Ada rasa tak suka yang kemudian membuatnya semakin
membenci Hujan. Perlahan keretanya berbalik kembali menuju istananya.
Di sisi yang lain___
Mendung nampaknya berhasil menjalankan tugasnya dengan baik.
Hujan terseyum. Hari ini tugasnya selesai. Terlihat dari wajahnya hari ini dia
puas sekali. Apalagi? Jika bukan karena keberhasilannya menggagalkan pertemuan
Jingga dan Senja. Dia sungguh iri dengan kesetiaan Jingga dan Senja. Dia tidak
mampu menahan rasa cemburunya tiap kali melihat Jingga bersama Senja. Hujan
ingin Jingga menjadi miliknya.
“Maafkan aku, Jingga. Tapi aku sungguh-sungguh ingin
memilikimu. Untuk itulah aku tak ingin kau menemui Senja lagi,”lirih Hujan.
Siang hari__
Hujan mengunjungi istana Jingga. Perlahan ia mengetuk pintu
istana. Pengawal mengantarkan Hujan pada Jingga. Belum sampai ke beranda, Hujan
mendengar percakapan Jingga dengan Ibunya.
“Anakku, bunda tahu kau sangat mencintai Senja. Tapi
tidakkah kau lihat Hujan selalu berusaha untuk memisahkanmu dengan Senja?”
“Ananda tahu, Bunda. Tapi yang perlu bunda tahu, Ananda
sangat mencintai Senja. Bersama Senja, ananda seperti mampu menghadapi
semuanya. Ananda sudah mengenalnya lama, sejak kecil kita bersama. Bukankah itu
sudah menjadi hal baik, Bunda? Kita suda saling mengenal,”ucap Jingga.
“Kau ingin hidup bersama dengannya Jingga?” tanya Ratu
Jingga. Dari nadanya terdengar khawatir.
“Tentu saja, Bunda. Ananda ingin sekali bisa selalu bersama
dengan Senja. Melewati petang bersama. Dan tak terpisahkan lagi. Ananda ingin
sekali, Bunda.”
“Bunda melihat kesungguhan cintamu padanya. Ajaklah Senja
nanti petang untuk menemui Bunda,”ucap Ratu Jingga lembut. Jingga mendongak.
Senyumnya melebar.
“Terima kasih, Bunda.” Ratu Jingga memeluk putrinya.
Di luar ruangan, Hujan hanya berdiri mematung. Ia tak mampu
berkata-kata. Yang dicintainya lebih mencintai orang lain. Tidakkah itu
menyakitkan? Mungkin, cintanya sudah berakhir sebelum ia mampu memulainya. Ia
berjalan mundur.
“Semoga kau bahagia, Jingga. Dan aku tak akan datang lagi.”
Hujan melesat bersama keretanya. Sosoknya yang tangguh kini menjelma menjadi
lemah.
Senja dan Jingga kembali bertemu tiap petang. Melafalkan
bait-bait rasa yang kemudian berpilin dalam untaian doa sampai Malam menjemput
Jingga kembali ke singgasananya. Tanpa mereka tahu, Hujan tengah merintih di
bagian bumi lain. Dan kini tiap orang tahu, hujan mampu menyembunyikan rintihan
dalam rintikan.
0 comments