Betapa mencintaimu begitu letih, melelahkan. Mengeja langkah demi langkah yang kadang terasa begitu menyesakkan. Bagaimana tidak? Sekilas.. Hanya mampu melihatmu sekilas.. Memandangimu dari jauh.. Ahh... Terkadang aku begitu jemu. Menunggumu di sini, di balik batang pohon yang berdaun rimbun ini. Terkadang tanpa kusadari kau sudah duduk tak begitu jauh dari tempatku. Dan aku akan dengan sangat gugup menutupi wajahku dengan buku yang selalu kubawa. Ahh.. Maaf.. Aku tak mampu, meski sekedar memandangmu. Mungkin hanya sedikit 'menilik' dari balik buku..
Aku terlalu malu.. Malu untuk sekedar merasai rasa yang hadir tiba-tiba. Malu untuk sekedar membaui kehadiranmu. Malu untuk kemudian menyingkirkan keinginanku untuk menyapamu.
Aku terlalu takut.. Takut jika Dia Sang Pemilik Cinta mengetahui, betapa aku ingin bercengkrama denganmu. Aku takut Dia murka... Dia yang berhak atas cinta yang kumiliki. Betapa aku ingin menggenggam erat suaraku, agar ia tak terlepas hingga terdengar padamu.
Maaf.. Jika aku harus menyimpanmu dalam bait-bait doa. Mungkin ini caraku yang paling luhur. Saat suaraku tak mampu sampai padamu, semoga doa-doa yang kulantunkan padaNya bisa sampai atasmu.
Satu sisi, mungkin aku salah.. Salah.. Saat semua harus tertuju pada satu nama, namamu yang entah sejak kapan hadir. Mendulang kegelisahan yang terkadang begitu membuatku menderita. Mungkin caraku mencintaimu salah. Mungkin caraku meminta padaNya juga salah. Tak seharusnya kutujukan satu nama. Tak seharusnya namamu yang selalu kusebut....
Tapi pada sisi lain hatiku, hatiku yang begitu egois membenarkan kekhilafan hati. Ahh... Aku lelah... Lelah dengan pembenaran yang dilakukan oleh hati.
Namun dirimu terlalu indah....
Maafkan aku Rabbi... Bukan aku bermaksud melukaiMu. Aku hanya belum bisa mendikte rasa yang seharusnya bisa kututupi dalam bait-bait doa panjang yang tertuju padaMu.
Maafkan aku Rabbi.. Untuk sebuah nama yang terkadang terus saja dihadirkan oleh bibir ini. Bagiku, tetap itulah cara terbaik memeluknya dari jauh. Meski suaraku parau untuk sekedar berucap 'hai', dan tak pernah sekalipun mampu keluar jua.
Ampunkan aku Rabbi... Untuk rasa yang mungkin salah. Aku sudah merasa di titik pasrah, saat cintaku tak juga hadirkan sebuah kisah nyata. Biarkan derai cerita ini hantarkan kisahku hingga akhir yang berujung padanya, yang telah Dia tuliskan namaku dan namanya di Lauhul Mahfudz. Biarlah hati ini tetap ridho dengan ketentuanNya. Menantinya dalam kerinduan yang tumpah dalam bait-bait doa panjang.
Semoga, tak lagi namanya yang aku sebut. Biarkan hati ini bersih dari goresan pena atas namanya. Biarkan untuk dalam masa penantian ini hanya Allah yang selalu hadirkan cinta untukku.
-Dari seorang sahabat lama