Bercerita tentangmu, adalah mengemas sajak
yang menyimpan banyak cerita. Pun ketika kususun rapi, seringkali berantakan
lagi oleh rasa yang tiba-tiba hadir, meski sesaat.
Aku masih mengingat dengan sangat jelas,
setiap detail pertemuan kita. Kau masih ingat bukan, aku mampu menyimpan
hal-hal kecil yang bahkan sedikitpun tak pernah terpikirkan olehmu. Atau kau
sudah lupa sama sekali? Tak apa.
Seseorang pernah bertanya, bagaimana
bisa kau bertahan dengan perasaanmu sendiri? Menerka-nerka segala kemungkinan.
Sedangkan dia, belum tentu masih memiliki perasaan yang sama seperti dua tahun
yang lalu. Aku hanya tersenyum pahit.
Memang benar, aku tak pernah tahu
bagaimana bisa aku bertahan sejauh ini, sendiri dengan perasaan tanpa adanya
kepastian. Namun sungguh, ini semua tak mudah bagiku. Seringkali air mata
tiba-tiba menetes tanpa sebab. Hanya karena teringat secuil kisah, atau sapaan
sederhana yang dulu pernah hadir setiap pagi. Juga untuk secangkir coklat panas
yang sering kita seduh pada waktu yang sama meski
di tempat yang berbeda.
Seringkali, aku tidak paham bagaimana
cara kerja rasa. Tiba-tiba ia mampu untuk membuatku memaafkan segala hal
tentangmu, meski jujur kuakui semua itu menyakitkan. Namun di waktu yang lain,
kepergianmu masih begitu sulit untuk kuikhlaskan.
***
Pagi ini, dengan sinar matahari yang
seperti biasanya. Dengan rutinitas yang jauh berbeda. Aku dan kamu, tak lagi
sejalan seperti dulu. Aku dengan hidupku, kamu juga dengan hidupmu.
Masing-masing dari kita mengejar mimpi yang mungkin masih tertunda.
Seperti biasa, kunikmati hawa dingin
yang luruh bersama angin. Namun sepertinya aku tidak sekuat biasanya. Tanpa kuminta, detail kejadian
lampau itu kembali hadir. Dan sukses membuatku jatuh terduduk dalam tangis.
Entah, melepasmu begitu sulit. Meski
kutahu kau sudah begitu mampu untuk melepas segala tentangku. Namun tidak dengan
diriku. Aku terus merasa bahwa kau adalah milikku. Sama seperti tahun-tahun
yang lalu. Hanya saja, jarak memberikan jeda bagi kita. Karena pada dasarnya,
jarak bukan hanya menunda temu, tapi juga memendam rindu, atau memangkas rasa
yang masih begitu semu. Jika aku memilih opsi yang pertama untuk terus
memilikimu dalam hatiku, maka pada kenyataannya, kau memilih opsi yang kedua, memangkas
habis segala perasaan yang pernah hadir.
Seorang sahabat pernah bertanya, kenapa
begitu sulit? Bahkan untuk orang yang lebih baik darinya masih begitu banyak.
Ya... Aku tahu itu. Tapi lagi-lagi aku tetap menyanggah, tidak banyak yang
sepertimu. Meski siklus pertemuan kita tak pernah rutin terjadwal. Hanya satu
kali pertemuan semenjak kita bersama. Hanya sekali. Dan betapa berkesannya
pertemuan itu. Ada tawa, canda, dan impian yang sempat kita bubuhkan dalam hati
masing-masing. Tak ada ragu, semuanya terasa indah.
Andai kamu tahu, bahagiaku adalah
sesederhana ini. Berada di sampingmu, mendengar segala celoteh tentang hal-hal yang kau jalani. Aku,
hanya berusaha untuk menjadi pendengar yang baik untukmu. Menikmati detik demi
detik yang mengelupas dari porosnya. Lantas, semua hilang begitu saja bersama
angin. Dan aku, tergugu dalam sepi.
Andai kamu tahu, jika alasan kita
berpisah karena suatu hal yang fatal, maka aku akan dengan mudahnya melupakan
segala hal tentangmu. Bahkan mengingatmu pun aku tak ingin. Namun, kau dan aku
sama-sama tahu. Kita pun sudah sepakat, kita berpisah karena memang apa yang
kita jalani ini adalah salah. Kita melangkah bersama namun tidak pada koridor
yang benar. Yang ada, kita hanya mengulang hal yang sia-sia. Memeras segala
rasa yang tersisa untuk hal yang belum tentu terjadi di hari esok.
Aku dan kamu, sama-sama kepayahan untuk
menerima ini semua. Namun, betapa kita telah sepakat untuk mengakhiri ini
semua. Karena kita tahu, inilah yang terbaik.
Aku, sangat paham. Segala alasan itu
untuk kebaikan kita. Namun, aku mohon maaf. Hatiku masih sulit menerima semua
ini. Pun untuk dua tahun terakhir ini. Meski kutepis jauh-jauh segala hal
tentangmu, ternyata aku belum mampu. Bahkan untuk setiap tempat yang pernah
kita singgahi bersama, maka akan dengan mudahnya aku mengingat setiap hal yang
terjadi di sana. Kenangan itu menghujaniku berbagai spekulasi. Dan kembali lagi
aku harus meyakinkan diri, kau tak lagi ada di sisi.
Bagiku sekarang, mimpi itu adalah
jelmaan dari seluruh ketidakpastian yang ada pada realita. Ya.. Kau serupa
mimpi yang sangat sulit untuk bisa kugapai kembali. Meski dengan susah payah
kucoba untuk menggapaimu, waktu tak akan pernah lagi mengizinkan kita untuk
menikmati kebersamaan itu.
Pada akhirnya aku menyadari, kita akan
belajar untuk merelakan segala hal yang belum tentu bisa kita miliki. Terlebih
pada orang-orang yang tak ingin bertahan. Meski sekuat tenaga aku menahanmu
untuk tetap tinggal, jika kau enggan, aku bisa apa? Tak ada guna.
Dua tahun, sudah cukup untuk membiarkan
rasaku terus tumbuh. Maka, sekarang adalah masa bagiku untuk memberikan
kesempatan pada hati untuk belajar melepaskan. Mengikhlaskan setiap kenangan
terkikis satu demi satu tanpa ada rasa sakit yang mendera. Atau mungkin ada
opsi yang lain, mengabadikanmu dalam kenangan tanpa rasa sakit. Ah, pilihan
yang terakhir ini cukup sulit. Kenangan itu terkumpul dari serakan-serakan
peristiwa yang seakan tak ingin kuingat. Namun, aku tetap berharap. Suatu saat
nanti, aku mampu untuk mengingat kenangan itu dengan hati yang lapang. Tanpa
ada rasa benci, dan rasa sakit yang menjalar seperti tahun-tahun kemarin. Pun
saat ini, aku masih terus belajar untuk merelakanmu. Karena asa tertinggi
adalah kebahagiaan diri kita masing-masing. Mungkin jika memang bukan dirimu
orangnya, sudah tentu Tuhan tengah menyiapkan sosok terbaik bagiku. Tepatnya,
sekarang ini adalah waktu untuk perbaikan diri. Terus mengejar cinta Illahi,
bukan lagi cinta insani. Karena aku menyadari, suatu saat akan ada orang yang
tanpa kuminta, ia akan memberikan segala. Tanpa ada perasaan perih tersakiti,
meski oleh perasaaan sendiri. Yang ada, adalah ketulusan untuk menerima segala
hal yang telah ditakdirkan untuk kita.
Aku kembali teringat dengan jelas
firmanNya,
“Boleh
jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu. Allah mengetahui,
sedangkan kamu tidak mengetahui.”(QS. Al Baqarah :216)
Bukankah sudah tertera jelas. Allah
sudah menyiapkan skenario terbaikNya. Tugas kita adalah memperbaiki diri dan
menyiapkan diri untuk ikhlas menerima segala ketentuanNya. Ikhlas bukan berarti
menerima tanpa ada usaha. Kita hanya perlu untuk terus berikhtiyar dan berdoa
tanpa henti. Hingga Allah lah yang menggenapi segala jerih payah usaha kita
dengan manisnya buah dari penantian itu. Percayalah...