Kau tahu rasanya dikhianati? Sakit pasti. Namun, kau melakukannya tanpa pernah memperdulikan perasaanku.
"Apa yang kau bicarakan, dik?" katamu sambil membuntutiku ke ruang tengah.
"Bukan apa-apa!" jawabku cuek.
"Dik, jangan seperti ini. Mas butuh penjelasan darimu."
"Penjelasan katamu mas? Siapa yang seharusnya memberikan penjelasan? Aku atau kamu?" aku, sudah tak mampu membendung amarahku lagi. Mas Ifan kaget melihatku marah.
"Kemarin, aku melihat mas dengan seorang wanita. Entah siapa, aku tak kenal. Wanita itu, memeluk mas erat. Siapa dia mas?? Siapaa??" Aku menyembunyikan tangisku. Mas Ifan terdiam. Tak menanggapi apapun atas pernyataanku.
"Kenapa tak menanggapi omonganku mas? Berarti benar kan?" Aku mulai berteriak. Entah, amarahku sudah memuncak. Tak peduli dengan bapak dan ibu yang sedang duduk di dapur.
"Maafin mas, dik!"
"Hanya itu mas?" Aku seakan tak percaya.
"Astaghfirullahal'adzim..." Aku menahan tangisku yang terus menganak sungai. Mas Ifan mencoba meraih tanganku. Namun segera kutepis.
"Aku tahu mas, mungkin aku tak secantik wanita itu. Aku mungkin juga bukan orang berada seperti dia. Tapi, sampai saat ini, aku yang masih setia berada di sisi mas. Aku, yang belajar menerima segala yang esok akan kuhadapi bersama mas. Aku belajar memahami semuanya dari mas. Tapi, inikah balasanmu?" Aku membuang muka.
"Pergilah, mas!"
"Tapi, dik. Mas masih sangat mencintaimu," katamu mengiba.
"Sayang? Sayang katamu, mas? Omong kosong!"
"Bagaimana agar kamu maafin aku, dik?"
"Pergilah. Dan tak usah kembali!"
"Maksudmu? Kita putus?"
"Untuk apa dilanjutkan? Kesetiaanku berbalas pengkhianatanmu!"
"Apa tak ada kesempatan kedua, dik?"
"Rasaku pupus!"
"Baiklah, maafkan segala kesalahan mas. Tapi yang perlu kau tahu, kau yang terbaik dik. Selamanya.."
Mas Ifan berpamitan kepada bapak dan ibu. Aku masih kukuh tak memperdulikannya yang berpamitan padaku. Aku, tak bisa menerima semua ini mas..
Air mataku luruh, seiring deru motormu yang berlalu.
"Apa yang kau bicarakan, dik?" katamu sambil membuntutiku ke ruang tengah.
"Bukan apa-apa!" jawabku cuek.
"Dik, jangan seperti ini. Mas butuh penjelasan darimu."
"Penjelasan katamu mas? Siapa yang seharusnya memberikan penjelasan? Aku atau kamu?" aku, sudah tak mampu membendung amarahku lagi. Mas Ifan kaget melihatku marah.
"Kemarin, aku melihat mas dengan seorang wanita. Entah siapa, aku tak kenal. Wanita itu, memeluk mas erat. Siapa dia mas?? Siapaa??" Aku menyembunyikan tangisku. Mas Ifan terdiam. Tak menanggapi apapun atas pernyataanku.
"Kenapa tak menanggapi omonganku mas? Berarti benar kan?" Aku mulai berteriak. Entah, amarahku sudah memuncak. Tak peduli dengan bapak dan ibu yang sedang duduk di dapur.
"Maafin mas, dik!"
"Hanya itu mas?" Aku seakan tak percaya.
"Astaghfirullahal'adzim..." Aku menahan tangisku yang terus menganak sungai. Mas Ifan mencoba meraih tanganku. Namun segera kutepis.
"Aku tahu mas, mungkin aku tak secantik wanita itu. Aku mungkin juga bukan orang berada seperti dia. Tapi, sampai saat ini, aku yang masih setia berada di sisi mas. Aku, yang belajar menerima segala yang esok akan kuhadapi bersama mas. Aku belajar memahami semuanya dari mas. Tapi, inikah balasanmu?" Aku membuang muka.
"Pergilah, mas!"
"Tapi, dik. Mas masih sangat mencintaimu," katamu mengiba.
"Sayang? Sayang katamu, mas? Omong kosong!"
"Bagaimana agar kamu maafin aku, dik?"
"Pergilah. Dan tak usah kembali!"
"Maksudmu? Kita putus?"
"Untuk apa dilanjutkan? Kesetiaanku berbalas pengkhianatanmu!"
"Apa tak ada kesempatan kedua, dik?"
"Rasaku pupus!"
"Baiklah, maafkan segala kesalahan mas. Tapi yang perlu kau tahu, kau yang terbaik dik. Selamanya.."
Mas Ifan berpamitan kepada bapak dan ibu. Aku masih kukuh tak memperdulikannya yang berpamitan padaku. Aku, tak bisa menerima semua ini mas..
Air mataku luruh, seiring deru motormu yang berlalu.