Masih Debaran yang Sama
Bolehkah kutulis singkat di sini? Tak apa kau tak membacanya. Aku hanya ingin sekedar menulis.
Pikiranku mulai melayang. Entah sejak kapan perasaan ini ada. Yang aku tahu dulu aku pernah memiliki perasaan semacam ini untukmu. Dulu aku berharap kau akan tahu, tapi rupanya aku harus membuang jauh2 saja agar tak ada lagi rasa sedih, cemburu, dan semacamnya. Kau tahu kenapa aku bisa memiliki perasaan semacam ini untukmu? Jangan tanya, aku pun tak tahu. Aku seperti merasakan debar-debar yang tak kumengerti tiap kali ada di dekatmu, atau sekedar melirik ke arahmu. Dan, perlahan kita mulai saling mengenal. Dulu aku polos sekali ya? Tapi katamu sampai sekarang pun aku masih polos, seperti dulu. Saling mengerti dan mulai saling memahami. Aku pernah ingin memilikimu, dulu. Seketika keinginanku harus pupus. Saat ku tahu kau dekat dengan temanku sendiri. Apa bisa dikata? Aku merasa lebih baik jika aku mengalah saja. Lalu mengubur dalam-dalam debaran ini perlahan. Aku yakin, kau tak ingin tahu perasaan ini. Jadi, lupakan saja.
Bulan berlalu, kita memasuki tahun baru. Kau datang lagi mengunjungi hariku. Aku menyambutmu bahagia. Masih dengan debaran yang sama. Karena pada kenyataannya debaran itu tak benar-benar terkubur. Meski ada dia yang pernah singgah, tetap ada ruang untukmu. Maafkan aku. Aku mencoba membuka hati untuk orang lain, berharap debaran untukmu bisa lekas meleleh. Namun pada kenyataannya saat kita berjumpa kembali, debaran itu masih sama seperti tahun2 yang lalu. Salahkah aku? Aku mohon jangan bilang aku salah.
Sekarang, kita dipertemukan kembali, bolehkah aku memiliki harapan yang kemarin lagi? Perlukah aku berkata langsung padamu? Yaa.. Kau tak pernah mengerti jika aku tak berucap. Namun aku ragu, harus dari mana aku memulai? Bisakah kau bantu aku, aku harus memulai dari halaman buku nomor berapa? Kau masih ingat? Tentu saja tidak. Entah kau masih ingat hal-hal kecil itu atau tidak? Kau masih ingat saat kubawakan bekal untuk sarapanmu? Aku masih ingat, kau makan lahap sekali. Dan aku hanya tersenyum. Dimulai dari situlah sebenarnya aku ingin lebih dekat denganmu. Namun lagi-lagi aku harus mengalah untuknya. Tak apa. Mungkin kita belum diijinkan untuk dekat.
Sekarang, masih bisakah aku memulai harapan baru itu? Aku tak akan mengharapmu. Aku hanya ingin menitipkan harapan ini padaNya. Sang Pemilik Cinta yang Sejati.
Pikiranku mulai melayang. Entah sejak kapan perasaan ini ada. Yang aku tahu dulu aku pernah memiliki perasaan semacam ini untukmu. Dulu aku berharap kau akan tahu, tapi rupanya aku harus membuang jauh2 saja agar tak ada lagi rasa sedih, cemburu, dan semacamnya. Kau tahu kenapa aku bisa memiliki perasaan semacam ini untukmu? Jangan tanya, aku pun tak tahu. Aku seperti merasakan debar-debar yang tak kumengerti tiap kali ada di dekatmu, atau sekedar melirik ke arahmu. Dan, perlahan kita mulai saling mengenal. Dulu aku polos sekali ya? Tapi katamu sampai sekarang pun aku masih polos, seperti dulu. Saling mengerti dan mulai saling memahami. Aku pernah ingin memilikimu, dulu. Seketika keinginanku harus pupus. Saat ku tahu kau dekat dengan temanku sendiri. Apa bisa dikata? Aku merasa lebih baik jika aku mengalah saja. Lalu mengubur dalam-dalam debaran ini perlahan. Aku yakin, kau tak ingin tahu perasaan ini. Jadi, lupakan saja.
Bulan berlalu, kita memasuki tahun baru. Kau datang lagi mengunjungi hariku. Aku menyambutmu bahagia. Masih dengan debaran yang sama. Karena pada kenyataannya debaran itu tak benar-benar terkubur. Meski ada dia yang pernah singgah, tetap ada ruang untukmu. Maafkan aku. Aku mencoba membuka hati untuk orang lain, berharap debaran untukmu bisa lekas meleleh. Namun pada kenyataannya saat kita berjumpa kembali, debaran itu masih sama seperti tahun2 yang lalu. Salahkah aku? Aku mohon jangan bilang aku salah.
Sekarang, kita dipertemukan kembali, bolehkah aku memiliki harapan yang kemarin lagi? Perlukah aku berkata langsung padamu? Yaa.. Kau tak pernah mengerti jika aku tak berucap. Namun aku ragu, harus dari mana aku memulai? Bisakah kau bantu aku, aku harus memulai dari halaman buku nomor berapa? Kau masih ingat? Tentu saja tidak. Entah kau masih ingat hal-hal kecil itu atau tidak? Kau masih ingat saat kubawakan bekal untuk sarapanmu? Aku masih ingat, kau makan lahap sekali. Dan aku hanya tersenyum. Dimulai dari situlah sebenarnya aku ingin lebih dekat denganmu. Namun lagi-lagi aku harus mengalah untuknya. Tak apa. Mungkin kita belum diijinkan untuk dekat.
Sekarang, masih bisakah aku memulai harapan baru itu? Aku tak akan mengharapmu. Aku hanya ingin menitipkan harapan ini padaNya. Sang Pemilik Cinta yang Sejati.
0 comments