Memeluk Ephemera

by - 12:29 PM


Tulisan ini adalah ulasan sederhana dariku yang masih belajar menulis. Bagiku, setiap buku yang selesai kubaca selalu memberikan pemahaman baru. Entah buku fiksi atau non fiksi, semua selalu memberikan pelajaran berharga. Mungkin tak sebanding dengan harga buku, karena bagiku pelajaran yang ada dalam tiap lembar kertas itulah yang jauh lebih mahal.
Jika kemarin sempat menulis sedikit tentang buku Sunset Bersama Rosie, maka kali ini aku ingin menuliskan tentang 'Ephemera'-nya mbk Himsa. Awal mula mengenal buku ini adalah karena dari judulnya yang menurutku unik, dan gak familiar. Hampir sama kayak pluviophile, petrichor, dan semacamnya. Awalnya penasaran banget dengan penulisnya, siapa sih? Ternyata seorang ibu rumah tangga yang udah punya 1 anak. Well, kayaknya menarik kalo liat tulisan-tulisan di instagram-nya. Maka pada PO pertama aku excited banget untuk segera memiliki buku ini.
Setelah nunggu beberapa waktu, akhirnya dapet juga buku ini. Gak sabaran banget baca sampe sempet tugas kuliah pending karena pengen segera khatamin ini buku... :D (Sssttt.. jangan sampe suami tau... XD). 
Gak tau kenapa, tapi sejak baca cerita pertama aku udah jatuh cinta sama buku ini. Aku suka jalan cerita yang disajikan mbk Himsa, juga teknik penulisannya. Mengalir gitu aja tapi sangat ngena. Sampai 2 kali aku baca buku ini, gak pernah bosen. Biasanya kalau baca buku sekali trus udah. Buku yang ini beda.. :)
Tapi dari semua cerita yang tersaji, ada satu cerita yang benar-benar membuatku bersyukur atas skenario Allah atas hidupku. Kalo dari pembaca banyak yang menunggu cerita 'Diagnosa' yang ada di akhir buku ini, maka aku masih saja terpaku pada cerita Tesla dan Galang, yapp.. 'Frekuensi' menjadi cerita favoritku. Cerita ini membuatku flashback ke kenangan satu tahun yang lalu. Saat aku masih sendiri dan sibuk menerka, siapa jodohku? Tentang frekuensi ini, aku pernah menyukai seseorang, yang waktu itu kupikir memiliki hal-hal yang bisa sejalan dengan apa yang menjadi visi dalam hidupku. Gayung bersambut, ia pun memiliki kecenderungan terhadapku. Maka melalui seorang perantara, kami pernah berta'aruf untuk kemudian berbicara banyak hal tentang apa yang masing-masing kami impikan. Segalanya nampak baik-baik saja, hingga aku seperti memiliki harapan yang baik waktu itu. Namun, Allah berkata lain. Jarak yang jauh membuat orang tuaku tak memberi restu. Meski segala kriteria yang ada padanya sudah memenuhi keinginan orang tua. Lagi-lagi jarak yang menjadi soal. Aku hampir saja melawan, tapi ada dua hati yang benar-benar harus kujaga hingga akhir hayat. Yaa.. Sesakit apapun hatiku kala itu, tetap tak bisa mematahkan besarnya cintaku pada mereka berdua. Benar kata mbk Himsa, ikhlas itu sulit. Ia berkelindan dengan rasa hati yang lain. Hingga pada akhirnya, aku melepasnya. Meski itu butuh waktu yang tidak sedikit. Juga perasaan yang terlanjur melambung tinggi saat itu.
Sampai pada titik dimana aku membersihkan seluruh hatiku, untuk kemudian siap menerima seseorang, entah orang baru atau orang lama yang siap membawaku pada ridhoNya. Keinget sama paragraf terakhir di cerita 'Foto'

"Barangkali kita memang harus bertemu saat hati kita sudah bersih dari goresan masa lalu.
Karena untuk membangun masa depan, terkadang kita perlu memperbaiki masa lalu."

Ungkapan itu ada benarnya. Aku baru menyadari saat aku sudah menikah. Teringat betul, doa yang sering aku sampaikan padaNya. Aku meminta seseorang yang bukan hanya aku inginkan, tapi yang aku butuhkan. Ia yang siap membimbingku kala aku tertatih. Ia yang siap memberiku nasehat kala kubutuhkan. Dan ia yang tak sungkan memelukku sewaktu-waktu. Dan Allah benar-benar mengirimkannya saat aku sudah benar-benar rela melepas segalanya. Melepas dia yang dulu sangat kuharapkan, juga melepas segala angan-angan. Hingga akhirnya aku rela menerima ketentuanNya akan seperti apa atas hidupku. 
Saat aku menuliskan ini, aku seperti tengah menonton kembali masa laluku. Jika dulu aku pernah merasakan sakit atas apa yang pernah terjadi dalam hidupku, maka kini aku bisa mengingat berbagai kisah itu dengan senyum. Bersyukur atas skenarioNya yang sangat indah. 
Terima kasih mbk Himsa untuk buku Ephemera-nya. Pada banyak bagian cerita membuat pemahaman lamaku seperti di-upgrade, dan aku bisa mengingat kenanganku tanpa perih lagi.
Selain menunggu bayi kecilku yang akan segera lahir, aku juga menunggu Teka-teki Rasa - nya mbk Himsa segera lahir.. :) 

You May Also Like

0 comments

Allah dulu, Allah lagi, Allah terus. ALhamdulillah