Preparenting

by - 11:31 AM

Ketika awal mula menjadi orang tua, nampaknya kita (saya) cukup tergagap meraup segala ilmu pengasuhan anak dan keluarga sebanyak-banyaknya.
Rasa diri dahaga dengan ilmu dinamis yang teorinya terburu langsung dipraktikkan karena selama sekian tahun bergelut dengan diktat sekolah formal, ilmu kepengasuhan ini tidak pernah sama sekali kita sentuh.

Memasuki fase medium menjadi orang tua, ketika anak-anak sudah memasuki usia sekolah atau remaja dan pengalaman kita mengasuh keluarga mulai menuntut di-recharge ulang. Rasa diri telah melakukan yang terbaik tapi hasil masih belepotan mempertanyakan di bagian mana yang kurang.

Teori parenting dan pakar parenting sudah menjadi komoditas hangat dari waktu ke waktu. Kita bisa pilih sendiri untuk mengadopsi ilmu parenting dari level peneliti dan praktisi seperti Ibu Elly Risman, Teteh Kiki Barkiah, Ayah Edy atau sekedar parenting praktis yang sering dicitrakan via sosial media.

Demikian, belajar ilmu parenting dari para pendahulu lantas membuat saya tersandung karena pada beberapa kesempatan saya menyadari bahwa saya lebih dulu membutuhkan "preparenting"

Preparenting
Preparation to Parenting

Bagi saya adalah satu fase yang wajib saya ikuti berkelanjutan kelasnya hingga lulus menemukan diri yang sebenarnya.

Betulkah bahwa, banyak dari kita yang menjadi orang tua "tanpa sengaja"? Hanya karena kita telah menikah, lalu sah memiliki anak dan menjadi orang tua.

Tentu sah, untuk memiliki anak sebagai lanjutan proses pernikahan.
Tapi dari segi kesiapan mental, apakah betul kita telah sah menjadi orang tua dengan segala beban karakter dan gelayut ambisi yang masih menghantui?

=====

"Dia yang tidak selesai dengan masa lalunya akan membawa jejak tidak nyaman pada kehadiran dan masa depannya"

Berapa banyak dari kita, yang ketika telah menimang kehadiran anak pertama masih mengolah bumbu perasaan yang berloncatan?

🌷 Masih digelayuti beban sengketa dengan orang tua yang kita beri judul keren "inner child" hingga menjadi kambing hitam kebobrokan perilaku kita. Hingga segala ketidakwarasan kita sangkutpautkan dengan inner child tanpa kita berusaha move on dan melecut diri bangkit dari jeratnya.

🌷 Masih merasa tidak ikhlas menjadi ibu rumah tangga, atau masih bimbang meneruskan amanah sebagai ibu bekerja. Hingga setiap gelenyar pertumbuhan anak nantinya selalu kita mintakan pamrih dan balas budinya.

🌷 Masih berkubang dalam lumpur hangat egoisme yang ingin tetap muda dan berbahaya, bebas pulang jam berapa saja dan bergaya macam apa di luar sana. Hingga menyisakan rongga timpang dalam rumah tangga.

🌷 Masih dihantui cengkeraman sang mantan atau gebetan hingga nama anak pun "dikutip" dari nama yang bersangkutan (ah elah)

Dan sekian banyak pembenaran lain yang kita bukukan dalam jilid tebal kegalauan orang tua muda.

Preparenting bagi saya adalah tentang menuntaskan kisruh, kecamuk, badai dan dinamika apapun yang mendistorsi fokus saya dari menjadi orang tua.

Jika parenting adalah masker oksigen yang akan kita pakaikan kepada anak kita ketika tekanan udara di dalam kabin pesawat mendadak turun, maka preparenting adalah masker oksigen yang kita pakaikan sendiri terlebih dulu pada diri kita. Menyelamatkan diri sendiri seiring menyelamatkan rekan seperjalanan kita.

Karena hanya orang tua yang stabil dan penuh pemaafan atas terbatasnya jangkauan duniawinya, yang akan membesarkan anak dengan bahagia.

Bukan berarti belajar parenting harus ditunda hingga kita lulus menjadi pribadi yang ber-nas pada kelas preparenting, tapi kesadaran untuk meng-upgrade kepribadian lewat preparenting-lah yang harus kita selaraskan dengan momen parenting.

=====

Demikian, ketika kita mengenalkan kata-kata sabar dalam proses belajar kepada anak, sesungguhnya kita juga sedang menguji endurance kesabaran kita menemani progress anak.

Bukan atas nama inner child - dimana kita dibesarkan dalam hardik ketidaksabaran, lalu kita memaklumkan kekurangsabaran kita sementara menuntut anak lekas bisa.

Atau ketika kita menemui anak mengulang kesalahan sepele dan kelepasan memarahi mereka dengan murka berkobar.

Ternyata setelah ditelisik ke belakang, ada temuan beban yang "menumpang tumpah" ketika kita marah. Entah sekelibat perasaan kecewa dengan pasangan, mertua atau ketidakpuasan dengan pencapaian diri sendiri.

Kalau parenting adalah ilmu hubungan kita dengan anak, maka preparenting adalah regulasi kita dengan pikiran dan kewarasan kita sendiri sebagai entitas yang bertanggung jawab untuk lebih dari satu nyawa yang dititip-tumbuhkan pada kita.

Membenturkan lagi melengosnya kemalasan kita pada sikap tubuh dan pemikiran yang siaga untuk belajar dan evaluasi kapan saja.
Membilas keteledoran kita agar lebih berhati-hati berucap dan bertindak demi keluarga.
Me-reset elastisitas kehidupan yang sempat kita jalani pada nilai-nilai yang kita cita-citakan menjadi pondasi bersama.

Setiap orang tua pemula maupun yang telah beranak lebih dari tiga pasti akan memulai perjalanan parenting dari satu titik.
Jika parenting hendak dimulai untuk membesarkan anak yang digadang sesuai fitrahnya, maka mari mulai dengan preparenting yang sehat untuk diri kita sendiri di garis start pertama.

Tolak ukur membesarkan anak yang bahagia bukan dari seberapa bahagia kedua orangtuanya, karena kata sifat bahagia akan selentur aplikasinya yang bisa jadi semena-mena, dan belum tentu kubikel bahagianya orang tua adalah manifestasi bahagia bagi anak.

Melainkan, kurang lebih, pada seberapa ikhlas kedua orang tua untuk selalu mau belajar dan merevisi diri dalam kelas preparenting yang sejajar dengan kelas parenting.

Karena menjadi orang tua adalah seumur hidup belajar dan di penghujung umur dipertanggungjawabkan. Maka menjadi orang tua butuh untuk selalu mengingatkan.

Karena menjadi orang tua adalah kesempatan untuk berhenti menduplikasi dosa parenting yang pernah kita alami, dan kesempatan untuk berdamai dengan versi fotokopi diri kita sendiri.

Kita bisa belajar parenting darimana saja, mengunduh ketersesuaian ilmu dengan kebutuhan keluarga kita. 
Namun preparenting adalah komitmen seumur hidup dengan diri sendiri, untuk menyelaraskan kepribadian kita dalam perjalanan panjang menjadi orang tua.

Originally created by Nafila Rahmawati

You May Also Like

0 comments

Allah dulu, Allah lagi, Allah terus. ALhamdulillah