Teguran Halus DariNya
Langit semakin menua, dan semua makin
gelap. Ditambah mendung dan hujan yang mengguyur tanah. Gelap dan dingin.
Semakin membuat tubuhku menggigil. Kupandang sekeliling, hiruk pikuk
orang-orang dan lalu lalang kendaraan membuat jalanan terlihat sibuk. Padahal
hujan deras. Mungkin mereka sedang dikejar waktu, sehingga meski hujan deras
mereka tetap nekat, pikirku.
Pikiranku masih menerawang, merefleksi
diri. Betapa banyak hal yang kulakukan masih belum tulus, belum lillaahi ta’ala.
Aku malu. Sangat sangat malu. Kucoba mengingat kembali saat aku mulai
berhijrah. Memperbaiki diri satu demi satu. Dari hijabku, pakaianku, dan
kemudian menata hatiku menjadi pekerjaan yang paling berat. Bagaimana tidak,
aku harus memblokir berbagai penyakit hati yang dulunya secara tidak sengaja
selalu bersarang di hati. Aku mencoba membuang satu demi satu. Sampai sekarang
masih kulakukan itu.
Mungkin sebagian bilang aku banyak berubah.
Yaa.. Memang. Sekarang aku lebih banyak diam. Mungkin malah bisa dibilang
menutup diri, atau lebih tepatnya membatasi diri. Tapi aku harus melakukan itu,
aku tak bisa melakukan hal yang sama dengan kalian. Dulu mungkin aku bisa, tapi
tidak untuk sekarang. Satu per satu kalian menanyaiku, “Mbak, pacarnya sekarang
anak mana?” Aku tersenyum sambil menjawab kalem, “Enggak punya pacar sekarang.”
Temanku itu kaget,”Ah, masa? Seorang Yuli gitu nggak punya pacar?” Hatiku
miris, Astaghfirullahal ‘adzim. Berarti dulu aku sangat terkenal sebagai
seorang muslimah namun suka berpacaran, hingga predikat ‘seorang yuli yang
tidak punya pacar itu menjadi sesuatu hal yang mengejutkan?’ Masya Allah..
Hatiku menangis. Mungkin aku tak layak disebut sebagai seorang muslimah. Tapi
dengan perubahan yang aku lakukan sekarang ini, aku berharap aku sudah bisa
pantas disebut sebagai seorang ‘muslimah’. Seorang muslimah yang bukan hanya
sebutan karena aku sudah mengenakan hijab, namun juga karena akhlakku yang
semoga saja sudah lebih baik daripada yang sebelumnya.
Jika ditinjau dari segi fisik, seseorang
yang sudah mengenakan hijab, mengenakan pakaian yang longgar, sudah bisa
disebut muslimah oleh orang-orang. Namun, sudahkah sebutan ‘muslimah’ itu Allah
sampaikan untuk kita? Terutama untukku pribadi. Aku merasa belum pantas. Aku
merasa hatiku masih sangat kotor.
Aku memang tak pernah terlihat berkhalwat
dengan seorang lelaki. Yang berkunjung ke rumah pun tetangga yang sudah
mengenalku sejak aku kecil, dan rata-rata dari mereka sudah berkeluarga.
Alhamdulillah aku bisa menahan diriku untuk tidak menerima tamu lelaki di
rumah. Entah kenapa, tapi aku merasa malu jika ada laki-laki yang berkunjung ke
rumah. Karena sudah sejak dulu ibu tidak pernah mengizinkan teman-temanku
berkunjung ke rumah. Mungkin terbawa hingga sekarang.
Namun, siapa yang bisa menjamin aku tidak
berkhalwat dengan seorang lelaki via sms ataupun social media yang lain? Ya..
Karena pada kenyataannya kadang aku masih melakukannya. Meski hanya sekedar
bertegur sapa. Ighfirlii Ya Rabbii.. Aku belum patuh menjauhi laranganMu.
Kemudian sebuah pertanyaan muncul dari hatiku, “Bagaimana bisa kau menginginkan
Ali jika kau tidak bisa seperti Fatimah?”
Ali yang selalu menjaga sikapnya, seluruh
rasa cintanya untuk Fatimah, namun ia tidak pernah mengungkapkan rasa cintanya
itu. Ali memendamnya dalam-dalam. Hingga setan pun tak tahu jika mereka saling
mencintai. Sedangkan aku? Masya Allah.. Aku malu Ya Rabbi… Maafkan seluruhnya
dariku. Mungkin sebuah twit singkat tadi tak akan berarti apa-apa jika tidak
Engkau hampirkan hidayah itu untukku Ya Allah.. Terima kasih banyak untuk
sebuah teguran halus yang Engkau sampaikan padaku. Sungguh ini sebuah nikmat
dariMu untukku bisa memperbaiki diri lagi.
Catatan perjalanan,
150213
0 comments