Tentang Bersyukur
Cuaca hari ini cukup cerah. Bahkan sudah membuatku berkeringat. Entah sudah berapa lembar tissue yang kuambil untuk me-lap keringat. Juga semua tisue nya kotor karena debu-debu yang menempel di wajahku. Sesaat aku teringat, ada teman yang bertanya, "kamu nggak panas apa pake baju panjang, rok, ditambah jilbab lebar kayak gitu? Aku aja yang pake baju pendek gini kepanasan,"ucapnya sambil menyapu keringat yang menetes dari dahinya. Aku hanya tersenyum, kemudian berkata, "Alhamdulillah, karena sudah terbiasa jadi tak terasa panas lagi," jawabku singkat. Dia hanya menatapku sebentar lantas beranjak ke warung es.
Selain itu, ada juga seorang teman yang bertanya. Sebut saja namanya Ian. "Kamu kenapa resign dari kerjaan kamu? Gajinya kurang banyak? Atau gimana?" tanya Ian heran. Aku tersenyum dan menjelaskan,"Uang bukan segalanya, Mas. Sekarang aku tanya, Mas kerja tujuannya untuk apa?" tanyaku balik. "Ya nyari uang lah. Emang apalagi? Semua orang butuh uang untuk hidup."
"Ya. Memang orang butuh uang untuk hidup, namun bukan berarti kita meng-hamba pada uang. Mas bahagia dengan kerjaan sekarang?" Ian terdiam.
"Masih kurang sih sebenernya."
"Bekerja itu bukan terletak pada seberapa banyak uang yang kita dapat, tapi pada seberapa banyak kita mampu bersyukur. Berterima kasih pada Allah atas nikmatNya hari ini. Karena Allah telah mencukupkan kebutuhan kita. Mas harus ingat, oksigen yang masih bisa kita hirup setiap hari ini gratis. Tanpa ada sedikitpun uang kita bayar kepada Allah. Coba mas bayangkan kalau harus di rumah sakit, oksigen aja bayar kan? Di situlah letaknya, Mas," jelasku panjang lebar. Ian terlihat sedang mencoba memahami penjelasanku.
"Trus kamu merasa cukup dengan bekerja di kios ini?"
"Insya Allah cukup. Kebutuhanku bukan hanya lahiriyah saja. Namun batiniyahnya juga. Ketika aku bekerja di resto waktu itu, aku sama sekali tak tenang."
"Kenapa bisa gitu?" Aku tersenyum, rupanya Ian masih belum paham.
"Saat aku bekerja di sana, semua fikiranku terfokus untuk dunia saja. Bahkan aku terkadang harus lembur sampai jam 10 malam. Rasanya menyesal sekali aku harus dzolim terhadap badan sendiri. Badanku sudah tak mampu, tapi aku tetap memaksakan diri. Hingga kemarin aku jatuh sakit. Selain itu, kebutuhan batinku tak bisa tercukupi. Sejak kecil aku sudah terbiasa hidup di lingkungan agamis. Jadi, bagaimanapun juga sampai sekarang aku tak bisa tinggalkan itu. Dan sekarang, dengan pekerjaan ini, aku bisa mendapatkan keduanya. Uang aku dapat, ilmu agama aku juga dapat."
"Ohh... Begitu? Aku paham sekarang. Makasih yaa penjelasannya," kata Ian sambil tersenyum. Aku mengangguk.
Begitulah kehidupan, dan sekarang aku merasa cukup atas apa yang Allah beri untukku. Terima kasihku tak terkira, karena Allah memberiku sebuah keluarga yang sangat mencintaiku. Dan aku juga mencintai mereka. :') Itu sudah lebih dari cukup.
Selain itu, ada juga seorang teman yang bertanya. Sebut saja namanya Ian. "Kamu kenapa resign dari kerjaan kamu? Gajinya kurang banyak? Atau gimana?" tanya Ian heran. Aku tersenyum dan menjelaskan,"Uang bukan segalanya, Mas. Sekarang aku tanya, Mas kerja tujuannya untuk apa?" tanyaku balik. "Ya nyari uang lah. Emang apalagi? Semua orang butuh uang untuk hidup."
"Ya. Memang orang butuh uang untuk hidup, namun bukan berarti kita meng-hamba pada uang. Mas bahagia dengan kerjaan sekarang?" Ian terdiam.
"Masih kurang sih sebenernya."
"Bekerja itu bukan terletak pada seberapa banyak uang yang kita dapat, tapi pada seberapa banyak kita mampu bersyukur. Berterima kasih pada Allah atas nikmatNya hari ini. Karena Allah telah mencukupkan kebutuhan kita. Mas harus ingat, oksigen yang masih bisa kita hirup setiap hari ini gratis. Tanpa ada sedikitpun uang kita bayar kepada Allah. Coba mas bayangkan kalau harus di rumah sakit, oksigen aja bayar kan? Di situlah letaknya, Mas," jelasku panjang lebar. Ian terlihat sedang mencoba memahami penjelasanku.
"Trus kamu merasa cukup dengan bekerja di kios ini?"
"Insya Allah cukup. Kebutuhanku bukan hanya lahiriyah saja. Namun batiniyahnya juga. Ketika aku bekerja di resto waktu itu, aku sama sekali tak tenang."
"Kenapa bisa gitu?" Aku tersenyum, rupanya Ian masih belum paham.
"Saat aku bekerja di sana, semua fikiranku terfokus untuk dunia saja. Bahkan aku terkadang harus lembur sampai jam 10 malam. Rasanya menyesal sekali aku harus dzolim terhadap badan sendiri. Badanku sudah tak mampu, tapi aku tetap memaksakan diri. Hingga kemarin aku jatuh sakit. Selain itu, kebutuhan batinku tak bisa tercukupi. Sejak kecil aku sudah terbiasa hidup di lingkungan agamis. Jadi, bagaimanapun juga sampai sekarang aku tak bisa tinggalkan itu. Dan sekarang, dengan pekerjaan ini, aku bisa mendapatkan keduanya. Uang aku dapat, ilmu agama aku juga dapat."
"Ohh... Begitu? Aku paham sekarang. Makasih yaa penjelasannya," kata Ian sambil tersenyum. Aku mengangguk.
Begitulah kehidupan, dan sekarang aku merasa cukup atas apa yang Allah beri untukku. Terima kasihku tak terkira, karena Allah memberiku sebuah keluarga yang sangat mencintaiku. Dan aku juga mencintai mereka. :') Itu sudah lebih dari cukup.
0 comments