Pengakuan yang Menyesakkan
Hujan menderu perlahan. Anak-anak langit kembali berloncatan
di atas tanah. Rupanya mentari enggan berkunjung sore ini. Hingga kemuning
senja tak bisa lagi nampak seperti biasa. Dingin membungkus dedaunan. Hingga
tetes-tetes air kembali berjatuhan.
Sedari tadi aku hanya diam di dekat kebun. Mengamati
kaki-kaki hujan menari dan beradu dengan tanah di hadapanku. Masih terbayang
jelas percakapan senja kemarin. Yaa.. Kini semua sudah jelas. Tak perlu lagi
kupaksakan perasaanku padamu Bi. Sekeras apapun usahaku untuk mencintaimu, aku
tetap bukan yang kau pilih. Karena pada kenyataannya, kini telah ada yang
menggantikan Prita di hatimu, sayangnya itu bukan atas namaku.
Kadang ingin kutepis semua Bi tentangmu. Bahwa kau beda dari
yang lain. Namun, jelas sudah kenyataan yang harus kuhadapi. Kau tetap
laki-laki, dan kau sama mudahnya dengan yang lain untuk melupakan wanitamu.
Kuhembuskan nafas perlahan. Dingin masih menggigit.
Kurekatkan lagi sweeter unguku. Masih ada satu pertanyaan yang mengganjal dalam
benakku. Siapa wanitamu sekarang Bi?
“Aku sudah belajar melupakan Prita, Fen. Dan sekarang aku
juga sudah mendapatkan yang baru,” katamu seraya membenahi letak kacamata
minusmu. Aku melengos.
“Bi, kenapa laki-laki begitu mudah melupakan wanita yang
pernah mengisi hidupnya? Padahal bagi kami kaum perempuan akan sangat sulit
untuk melupakan orang yang pernah dicintainya. Bisa memang untuk lupa, namun
tak cukup waktu yang sebentar,” ujarku pelan. Kau memandangku, dalam. Aku
terkesikap.
“Untuk wanita yang tulus mencintai mungkin akan bersikap
seperti yang kau paparkan barusan Fen. Tapi untuk wanita sekelas Prita, aku
akan mudah melupakannya. Untuk apa masih mengingat orang yang sudah menyakiti,
bahkan dengan jelas sudah tidak mencintai kita lagi Fen? Bukankah itu hal yang
sia-sia saja?”
“Mungkin bagimu sia-sia, tapi bagiku tidak!” Aku lantas
menutup mulut. Bagaimana bisa aku begitu ceroboh? Untung aku tak keceplosan
apapun di hadapanmu Bi.
“Maksudmu apa Fen?” Ada raut penasaran dalam wajahmu.
“Bukan apa-apa Bi. Lupakan saja.”
“Kau selalu seperti itu Fen. Bahkan sejak kita pertama
bertemu dulu, sampai kita bersama sekarang. Kenapa aku begitu bodoh, tak
melihat yang ada dihadapanku, malah mencari yang lain.”
“Maksud kamu Bi?” Aku penasaran. Sungguh-sungguh penasaran.
Kau hanya tersenyum dan memandangku sekilas. “Aku sudah
menemukannya. Menemukan dia yang tulus mencintaiku, menyayangiku bahkan disaat
aku melakukan banyak hal bodoh, dia masih tetap menyayagiku. Belum pernah aku
menemui orang seperti dia. Mungkin dia orang yang paling tepat untuk
mendampingiku selamanya, Fen.” Ngilu batinku mendengarnya. Kutahan air mataku
agar tak jatuh. Aku hanya mempu menunduk. Dan sesekali tersenyum. Yaa.. Senyum
yang kupaksakan.
“Bolehkah aku tahu siapa wanita yang beruntung mendapatkanmu
itu Bi?” tanyaku dengan suara bergetar menahan tangis.
“Terbalik Fen. Justru aku yang merasa menjadi orang paling
beruntung mendapatkan dia.” Tampak jelas sekali Bi, kau begitu bahagia dengan
kilat sinar di matamu. Dan aku, kini mulai merintih perlahan dalam hati.
“Bolehkah aku tahu siapa dia, Bi?”
“Besok malam kukenalkan dia padamu Fen,” ujarmu sembari
tersenyum ceria. Ahh.. Aku tak sanggup lagi melihat sinar kebahagiaan itu lagi
Bi. Kau tahu? Aku di sini makin tersedu.
Dan sekarang, aku makin membeku dalam pekat senja yang
mengantarkan siang menuju malam. Malamku mungkin akan menggigil dalam dingin.
Kuinginkan hatiku beku malam ini. Agar aku tetap kuat menanti perjumpaan dengan
wanitamu mala mini, Bi.
Tepat pukul 07.30 malam. Aku sudah duduk di sebuah Daeng
Resto dekat pantai. Kunikmati sejuk angin yang sedikit basah setelah hujan tadi
sore. Tak ada bintang juga bulan. Langit tetap pekat. Dan wajahku mungkin juga
pucat.
“Malam, Fen,”sapamu riang. Aku sedikit kaget dengan
tampilanmu malam ini. Kau terlihat berbeda dengan kemeja lurik panjang ini, Bi.
Ahh.. Kau tampan sekali. Aku hanya mampu mengagumimu saja ya Bi.
“Lho, kok malah ngeliatin aku aja Fen? Kenapa? Ganteng yaa?”
“Aihh,,, Pede sekali kau rupanya Bi?” kucoba cairkan hatiku
sedikit demi sedikit. Aku tak ingin lebih sakit.
“Hehe.. Bercanda aja kali, Fen. Sudah pesan belum sama
pelayan?”
“Belum, Bi. Aku dari tadi nunggu kamu. Lha, mana wanitamu
Bi?” Aku makin penasaran.
“Sebentar lagi datang,” Kau terlihat senang sekali Bi.
“Kenapa datangnya tak bersamaan?”
“Kami memang sepakat untuk datang sendiri-sendiri.” Kau
hanya tersenyum. Kubenahi jilbab biruku yang dihempas angin laut. Malam ini
kukenakan gamis biru tua dan jilbab biru langit. Rasanya teduh sekali memakai
warna ini.
“Assalaamu’alaikum..”
“Wa’alaikumussalam…” Jawabku dan Abi bersamaan.
“Hai Mom? Gimana perjalanan dari Balikpapan ke
Makassar?”Tanya Abi pada Mommy Cindy. Aku dari tadi hanya diam saja. Dan
sekarang menjadi benar-benar heran atas apa yang terjadi mala mini.
“Lumayan capek, Bi. Tapi tak apalah untuk pertemuan malam
ini,” jawab Mommy Cindy. “Hallo Fenny? Rasanya lama sekali Mommy gak ketemu
kamu. Kamu apa kabar sayang?” Tanya Mommy seraya memelukku. Rasanya aku sedikit
kaku malam ini.
“Alhamdulillah baik Mom. Mommy sendiri gimana?” tanyaku
pelan.
“Alhamdulillah baik juga. Benar katamu Bi, dia sekarang
makin cantik,”ujar Mommy sambil mengerling ke arah Abi. Aku tersipu malu.
“Bi, mana calonmu yang akan kamu kenalkan padaku? Kenapa
yang datang malah Mommy?” Aku benar-benar penasaran sekarang. Abi hanya
tersenyum. Mommy juga.
“Lho? Calonnya Abi kan kamu Fen? Ini gimana sih Bi?” Glek!
Apa maksud di balik semua ini? Aku???
“Tenang-tenang Mom. Baiklah sekarang aku jelaskan semuanya.”
Abi mengambil jeda sebentar. “Fen, aku sudah tahu semua catatanmu di blog. Tentang
perasaanmu juga semua obi-obi itu aku juga tahu kalau itu kependekan dari
‘objek Abi’ dan itu aku kan Fen? Jangan kau potong dulu penjelasanku ini Fen.
Aku mohon dengar dulu semuanya. Maafkan aku Fen, jika selama ini aku tak peka
atas apa yang kamu berikan. Dan sekarang aku sadar Fen. Kamu yang bisa ngertiin
aku sepenuhnya. Nah, aku minta Mommy datang ke sini, aku pengen melamar kamu Fen.
Maukah kamu menjadi istriku Fen?”
Semilir angin menghangat, membawa kehangatan, melelehkan
hatiku yang sedari tadi membeku. Kini semua terjawab sudah. Untuk 5 tahun
penantian yang sering diiringi rasa kecut saat kuharus menepis jauh bayangmu,
juga untuk rasa yang ingin kuanggap mati. Sekarang pangeranku ada di depan
mata. Aku tak mampu membendung air mataku. Hawa kebahagiaan dan kelegaan
menyeruak. Mendesak bulir-bulir air mataku untuk segera tumpah. Aku sesenggukan
dalam bahagia malam ini.
“Aduh.. Kamu kenapa malah nangis sayang?” Mommy menghampiri
dan memelukku. “Tenanglah, semua terjawab sudah sekarang. Kau tak perlu merasai
sakitmu lagi. Abi sudah memilih, dan pilihan itu atas namamu. Mommy yakin,
untuk kali ini Abi tak salah pilih lagi. Mommy sudah kenal kamu, dan mommy juga
sayang sama kamu.” Kurasakan mommy mengecup puncak kepalaku. Hangat.
“Aku lega sekarang. Dan sekarang aku sudah memilih,” kuambil
nafas perlahan,”Maaf Bi. Mungkin untuk 4 tahun ini kamu yang selalu kuinginkan
untuk berada di sampingku. Tapi, tidak untuk sekarang,”ucapku tegas.
Angin sepoi membelai senja. Kebekuan selama 4
tahun kini mencair sudah. Dan kau bukan yang kuingini untuk masa yang
akan datang.
0 comments