Pertemuan Pertama

by - 2:14 PM

Langit terbungkus mendung. Gemulai awan pekat mulai menitikkan air mata. Rintih-rintih kemudian menjadi deras. Sebentar lagi menjadi hujan sedang. Sepertinya hujan akan awet hari ini. Sudah hampir satu jam hujan turun perlahan. Dan aku masih duduk di ruang tengah ini, bersamamu.
Kurunuti wajah itu dengan teliti. Ahh... Kenapa kau berbeda sekali. Yaa.. Aku sempat terpana. Tubuhmu tegap, dan kini lebih tinggi dariku. Satu hal yang benar-benar berbeda, kau mulai memanjangkan jenggotmu. Aku tersipu sendiri. Andai kau lebih tua 3 tahun dariku.. Namun kutepis jauh-jauh pikiran itu, karena pada kenyataannya kau di sini sekarang dengan usia kita yang sama. Ahh.. Malah aku yang lebih tua beberapa hari darimu. Semoga itu tak menjadi soal untuk kita.
Waktu berjalan begitu cepat. Rasanya belum lama obrolan kita. Tapi waktu begitu cepat, atau aku yang sedari tadi banyak diam, mengamatimu perlahan. Hmm.. Mungkin iyaa.. Aku tersenyum. Pipiku merona merah. Ahh... Aku mohon sudah.. Kutepis perasaanku yang membuncah. Dan kau masih terus melanjutkan ceritamu. Aku hanya ingin menjadi pendengar yang baik untuk saat ini.
Entah kenapa, aku tak tahu pasti. Tiap kali kau singgung keseriusanmu padaku, aku sudah tak mampu berucap. Pipiku merona merah. Sepertinya juga sudah mirip kepiting rebus. Aku jadi teringat percakapan pagi di cafe kala itu. Yaa.. Kau mngolokku karena pipiku yang merona merah karena lagi-lagi pembicaraan kita berujung di kata-kata 'nikah'. Yaa.. Aku malu.. Terkesan aku yang sudah sangat ingin menikah. Jawab saja 'iya'. Hihi.. Aku tersenyum kecut. Kuluruskan lagi padamu mas, aku belum ingin menikah sekarang. Aku masih ingin menikmati semua ini sendiri, sebelum kau mulai mengurusiku untuk berbagai macam hal.
Andai kau tahu, betapa banyak waktu yang tersita sejak kepulanganku. Ahh.. Rasanya aku bingung sendiri. Bagaimana bisa hatiku membuka pintu untukmu. Lebar. Bahkan sangat lebar. Padahal waktu kemarin itu kau begitu tega membunuhku perlahan dengan tingkahmu. Dan sekarang, kau datang kembali menawarkan setangkai mawar keseriusan. Entahlah mas, aku masih diliputi ragu untuk menjawab 'Ya'. Tapi, bagaimana bisa kau begitu yakin jika semua rencanamu untuk kita akan berjalan dengan baik? Kuhmbuskan nafas pelan. Lagi-lagi aku masih belum yakin dengan keseriusanmu mas, maaf. Namun, aku masih belum bisa yakin atas keputusanmu.
Mentari pilu, melukiskan sinarnya yang redup. Juga ruang-ruang di rumah tua ini. Semakin meredup rasanya. Aku masih di depan jendela. Mengamati hujan yang tak jua berhenti menari. Kualirkan kegelisahan yang menggamit. Bisakah kuyakin atasmu? Hujan tak menjawab. Lagi-lagi mereka merintih kemudian menari. Pasokan air mungkin sedang melimpah ruah di telaga hujan. Hingga sampai sekarang pun air mataku ikut mengalir. Aku bingung dengan kegelisahan yang kubuat sendiri. Bisakah mas kau buatku yakin akan ketulusanmu? Bisakah kau menjamin aku tak akan kecewa seperti dulu? Aku masih belum sanggup untuk kecewa lagi.
Kubiarkan semua ini mengalir. Entah pada catatan buku yang mana kisah kita akan berujung. Karena pada buku kedua tentang kita ini pun, kisah kita belum ada ujungnya pula.

Magelang, 29 Nov 2012 ; 14.14

You May Also Like

0 comments

Allah dulu, Allah lagi, Allah terus. ALhamdulillah