Menjaring Senja
Pada gerimis yang turun merintih, kutitipkan semua
kenanganku untuk 4 tahun yang lalu. Berharap semua kan luruh bersama guyuran
hujan yang kini berubah menjadi deras. Semoga tak ada lagi beban untuk
mencintai. Karena kini aku telah menemukan orang yang mencintaiku. Meski dia
bukan kamu Bi, aku jauh lebih siap untuk menjaring senja bersamanya. Bukan
seperti tahun-tahun sebelumnya, kulewati senja bersamamu dalam hati yang miris
teriris, karena dalam keadaan sadar pun aku harus sudah paham jika kau tak
sungguh-sungguh menyayangiku. Dan Mas Adri lah orang yang paling tepat untuk
aku cintai selanjutnya.
Kurapikan jilbab tosca yang kupadukan dengan gamis
kembang-kembang dengan warna senada. Aku ingin tampil sempurna hari ini. Ada
rasa deg-deg an. Entah kenapa Mas, rasanya aku seperti hendak bertemu orang
penting, ahh… Iya.. Kau orang penting, bahkan sangat penting.
“Sudah cantik kok Fen. Anak mama ini sudah cantik, walau
tanpa make up. Tampil lah apa adanya. Dihapus yaa make up nya,”ujar mama pelan.
Aku hanya mengangguk dan menghapus lipstick yang melekat di bibir kecilku.
“Nah, yang seperti ini baru anak mama,” aku menghambur dalam
pelukan mama. “Kenapa Fen?” Air mataku hampir tumpah.
“Ma… bentar lagi Fenny akan menikah. Pasti bakal kangen
banget sama mama nanti,”tangisku pecah sudah.
“Hei, menikah itu ibadah, Sayang. Jangan kau bersedih. Mama
malah senang, itu artinya mama akan segera memiliki cucu,” kata mama senang.
Ahh, iya, ini sudah saatnya mama memiliki cucu.
Ting tong. Bel rumah berbunyi.
“Mama yang keluar ya? Pasti dia yang datang, Fen. Persiapkan
dirimu,”kata mama sambil menjawil hidungku. Aku mengangguk dan segera beranjak
ke dapur. Kusiapkan teh hangat untuknya. Kutarik nafas perlahan. Fiuhh…. Aku
siap.
Kubawa keluar secangkir teh hangat itu. Agak canggung, tapi
aku harus keluar. Entah kenapa. Seharusnya ini sudah biasa seperti pertemuan
kemarin, namun kali ini terasa berbeda. Jantungku berdegup kencang. Dan tubuhku
bergetar. Hampir saja cangkir itu jatuh.
“Fen, kamu kenapa Sayang? Kamu sakit? Mukamu pucat,” ucap
mama dengan nada khawatir.
“Nggak, Ma. Fenny baik-baik aja kok,” kataku meyakinkan.
“Kamu yakin Dek? Kalau memang lagi sakit ya sudah besok saja
taka pa-apa. Saya pulang saja kalau gitu,” kata Mas Adri seraya bangkit untuk
pamit.
“Tidak, Mas. Duduklah. Aku tak apa-apa. Mungkin Cuma sedikit
kecapekan setelah perjalanan kemarin,”kucoba duduk dengan tegap.
“Kamu yakin Fen?” tanya Mama. Aku mengangguk dan tersenyum.
Ku coba yakinkan mama, aku baik-baik
saja, Ma.
“Baiklah kalau begitu, mama tinggal ya?”
“Jangan, Ma. Mama tetap di sini saja.”
“Iya, Bu. Biar kita tidak Cuma berdua saja.” Mas Ardi ikut
menambahkan. Kulirik Mas Ardy sebentar, terlihat kamu tersenyum Mas. Aku jadi
tersipu.
“Sebelumnya, Fenny minta maaf Mas, jika aku mengulur waktu
yang cukup lama untuk memberikan jawaban ini padamu Mas.”Kuambil jeda sebentar
untuk menyusun kata-kata yang pas untuk jawaban ini. “Aku memutuskan untuk
menerima lamaranmu, Mas. Aku tahu, aku belum mengenalmu penuh. Kita pun bertemu
untuk sekedar mengenal juga baru 4 kali ini. Aku tak tahu keyakinan apa yang
membuatmu memilihku untuk jadi pendampingmu. Sungguh aku tak tahu. Namun di
sisi lain, kau juga membuatku yakin untuk memilihmu,” paparku panjang lebar.
Kau tersenyum, sedangkan aku sedang dijalari oleh rasa penasaran atas
tanggapanmu.
“Fen, kita memang baru bertemu 4 kali ini. Tapi sejak awal
kita bertemu aku sudah yakin untuk meminangmu. Aku sudah mendengar banyak
tentangmu dari ibu. Ibu selalu terlihat semangat dan ceria tiap kali bercerita
tentangmu. Tentang kamu yang manja sewaktu kecil, tentang kau yang menyukai
photography, ibu tahu itu semua. Sejak saat itu aku mulai yakin, kau tidak
hanya mampu membahagiakanku kelak, namun kau juga akan mampu membuat ibu
bahagia. Itu saja, Fen.” Mataku berkaca-kaca mendengar penuturanmu Mas. Aku tak
menyangka ada orang sepertimu. Kini, berbagai ingatan tentang Abi luntur sudah.
Meski belum semua, namun kharismamu mampu menggantikan posisi Abi yang 5 tahun
terakhir ini menggerogoti kewarasanku. Kini aku makin mantap.
Kususut air mataku dengan tisu. Mama masih setia menemaniku.
Aku tersenyum.
“Kau sudah benar-benar mantap Fen untuk melangkah
bersamaku?” tanya Mas Adri serius.
“Iya, Mas. Aku yakin sudah sekarang.” Kuberikan senyum
termanisku untuk hari ini.
“Baiklah. Besok hari Kamis kuajak Ibu untuk datang kemari
malamarmu Fen.” Aku mengangguk dengan mata berbinar. Setelah menyusuri lorong
waktu yang lama, kini aku mampu untuk merasakan kebahagiaan itu dengan nyata.
“Kutunggu kau dan ibu besok
hari Kamis, Mas.”
“Oke. Kalau begitu saya pamit sekarang. Jam 4 sore ini saya
ada bertemu dengan relasi untuk meeting besok hari Rabu. Mari Bu, saya permisi
dulu,” kata Mas Adri seraya mencium tangan Mama. Kutangkupkan kedua tangan
sebagai ganti jabat tangan. Yaa.. Katamu kita belum halal, jadi tidak boleh
bersalaman. Dulu, aku merasa hal tersebut sangat aneh. Kini aku paham, semua
itu kau lakukan sebagai wujud penghormatan kepadaku. Belum pernah ada orang
yang menyayangiku dengan cara seperti ini. Kau benar-benar berbeda Mas. Aku tersenyum melihat kepergianmu. Kutatap
punggungmu yang begitu kokoh.
“Mama senang kau mau menerima Adri. Sejak awal mama sudah
yakin dial ah yang terbaik untuk kamu. Mama kurang setuju kalau kamu misalkan
kamu menikah dengan Abi.” Aku kaget.
“Dari mana Mama tahu kalau Fenny pernah menyukai Abi?”
tanyaku heran.
“Kau lupa? Ini mama. Tentu saja mama tahu apa
yang selama ini kau rasakan.” Ahh Mama… Aku hanya tersenyum dan memeluk mama
erat.
0 comments