Menjaring Senja

by - 11:08 PM


Pada gerimis yang turun merintih, kutitipkan semua kenanganku untuk 4 tahun yang lalu. Berharap semua kan luruh bersama guyuran hujan yang kini berubah menjadi deras. Semoga tak ada lagi beban untuk mencintai. Karena kini aku telah menemukan orang yang mencintaiku. Meski dia bukan kamu Bi, aku jauh lebih siap untuk menjaring senja bersamanya. Bukan seperti tahun-tahun sebelumnya, kulewati senja bersamamu dalam hati yang miris teriris, karena dalam keadaan sadar pun aku harus sudah paham jika kau tak sungguh-sungguh menyayangiku. Dan Mas Adri lah orang yang paling tepat untuk aku cintai selanjutnya.
Kurapikan jilbab tosca yang kupadukan dengan gamis kembang-kembang dengan warna senada. Aku ingin tampil sempurna hari ini. Ada rasa deg-deg an. Entah kenapa Mas, rasanya aku seperti hendak bertemu orang penting, ahh… Iya.. Kau orang penting, bahkan sangat penting.
“Sudah cantik kok Fen. Anak mama ini sudah cantik, walau tanpa make up. Tampil lah apa adanya. Dihapus yaa make up nya,”ujar mama pelan. Aku hanya mengangguk dan menghapus lipstick yang melekat di bibir kecilku.
“Nah, yang seperti ini baru anak mama,” aku menghambur dalam pelukan mama. “Kenapa Fen?” Air mataku hampir tumpah.
“Ma… bentar lagi Fenny akan menikah. Pasti bakal kangen banget sama mama nanti,”tangisku pecah sudah.
“Hei, menikah itu ibadah, Sayang. Jangan kau bersedih. Mama malah senang, itu artinya mama akan segera memiliki cucu,” kata mama senang. Ahh, iya, ini sudah saatnya mama memiliki cucu.
Ting tong. Bel rumah berbunyi.
“Mama yang keluar ya? Pasti dia yang datang, Fen. Persiapkan dirimu,”kata mama sambil menjawil hidungku. Aku mengangguk dan segera beranjak ke dapur. Kusiapkan teh hangat untuknya. Kutarik nafas perlahan. Fiuhh…. Aku siap.
Kubawa keluar secangkir teh hangat itu. Agak canggung, tapi aku harus keluar. Entah kenapa. Seharusnya ini sudah biasa seperti pertemuan kemarin, namun kali ini terasa berbeda. Jantungku berdegup kencang. Dan tubuhku bergetar. Hampir saja cangkir itu jatuh.
“Fen, kamu kenapa Sayang? Kamu sakit? Mukamu pucat,” ucap mama dengan nada khawatir.
“Nggak, Ma. Fenny baik-baik aja kok,” kataku meyakinkan.
“Kamu yakin Dek? Kalau memang lagi sakit ya sudah besok saja taka pa-apa. Saya pulang saja kalau gitu,” kata Mas Adri seraya bangkit untuk pamit.
“Tidak, Mas. Duduklah. Aku tak apa-apa. Mungkin Cuma sedikit kecapekan setelah perjalanan kemarin,”kucoba duduk dengan tegap.
“Kamu yakin Fen?” tanya Mama. Aku mengangguk dan tersenyum. Ku coba yakinkan mama, aku baik-baik saja, Ma.
“Baiklah kalau begitu, mama tinggal ya?”
“Jangan, Ma. Mama tetap di sini saja.”
“Iya, Bu. Biar kita tidak Cuma berdua saja.” Mas Ardi ikut menambahkan. Kulirik Mas Ardy sebentar, terlihat kamu tersenyum Mas. Aku jadi tersipu.
“Sebelumnya, Fenny minta maaf Mas, jika aku mengulur waktu yang cukup lama untuk memberikan jawaban ini padamu Mas.”Kuambil jeda sebentar untuk menyusun kata-kata yang pas untuk jawaban ini. “Aku memutuskan untuk menerima lamaranmu, Mas. Aku tahu, aku belum mengenalmu penuh. Kita pun bertemu untuk sekedar mengenal juga baru 4 kali ini. Aku tak tahu keyakinan apa yang membuatmu memilihku untuk jadi pendampingmu. Sungguh aku tak tahu. Namun di sisi lain, kau juga membuatku yakin untuk memilihmu,” paparku panjang lebar. Kau tersenyum, sedangkan aku sedang dijalari oleh rasa penasaran atas tanggapanmu.
“Fen, kita memang baru bertemu 4 kali ini. Tapi sejak awal kita bertemu aku sudah yakin untuk meminangmu. Aku sudah mendengar banyak tentangmu dari ibu. Ibu selalu terlihat semangat dan ceria tiap kali bercerita tentangmu. Tentang kamu yang manja sewaktu kecil, tentang kau yang menyukai photography, ibu tahu itu semua. Sejak saat itu aku mulai yakin, kau tidak hanya mampu membahagiakanku kelak, namun kau juga akan mampu membuat ibu bahagia. Itu saja, Fen.” Mataku berkaca-kaca mendengar penuturanmu Mas. Aku tak menyangka ada orang sepertimu. Kini, berbagai ingatan tentang Abi luntur sudah. Meski belum semua, namun kharismamu mampu menggantikan posisi Abi yang 5 tahun terakhir ini menggerogoti kewarasanku. Kini aku makin mantap.
Kususut air mataku dengan tisu. Mama masih setia menemaniku. Aku tersenyum.
“Kau sudah benar-benar mantap Fen untuk melangkah bersamaku?” tanya Mas Adri serius.
“Iya, Mas. Aku yakin sudah sekarang.” Kuberikan senyum termanisku untuk hari ini.
“Baiklah. Besok hari Kamis kuajak Ibu untuk datang kemari malamarmu Fen.” Aku mengangguk dengan mata berbinar. Setelah menyusuri lorong waktu yang lama, kini aku mampu untuk merasakan kebahagiaan itu dengan nyata.
“Kutunggu kau dan ibu besok  hari Kamis, Mas.”
“Oke. Kalau begitu saya pamit sekarang. Jam 4 sore ini saya ada bertemu dengan relasi untuk meeting besok hari Rabu. Mari Bu, saya permisi dulu,” kata Mas Adri seraya mencium tangan Mama. Kutangkupkan kedua tangan sebagai ganti jabat tangan. Yaa.. Katamu kita belum halal, jadi tidak boleh bersalaman. Dulu, aku merasa hal tersebut sangat aneh. Kini aku paham, semua itu kau lakukan sebagai wujud penghormatan kepadaku. Belum pernah ada orang yang menyayangiku dengan cara seperti ini. Kau benar-benar berbeda Mas.  Aku tersenyum melihat kepergianmu. Kutatap punggungmu yang begitu kokoh.
“Mama senang kau mau menerima Adri. Sejak awal mama sudah yakin dial ah yang terbaik untuk kamu. Mama kurang setuju kalau kamu misalkan kamu menikah dengan Abi.” Aku kaget.
“Dari mana Mama tahu kalau Fenny pernah menyukai Abi?” tanyaku heran.
“Kau lupa? Ini mama. Tentu saja mama tahu apa yang selama ini kau rasakan.” Ahh Mama… Aku hanya tersenyum dan memeluk mama erat.

You May Also Like

0 comments

Allah dulu, Allah lagi, Allah terus. ALhamdulillah