Segenggam Hati, Sekerat Kenangan

by - 12:46 AM

Senja meramu sinar mentari yang terik menjadi sepoi. Mengeja kenari di dahan pohon. Bersama nyiur yang melambai dan deru ombak yang mengalun perlahan.
Senjaku merdu. Kaki-kakiku mencoba melangkah menuju bibir pantai. Rasaku ingin mencicipi air laut yang asin itu. Perlahan langkahku mulai menyentuh pasir yang sangat halus itu. Kupandangi sekitar. Ramai sekali, ahh iya.. Rupanya ini hari Minggu. Jatahnya orang-orang sibuk menghabiskan waktu bersama keluarga masing-masing. Dan sekarang, di sinilah aku. Di bibir pantai, bersama sebuah camera di tangan dan tas ransel di punggung.
Kubenahi letak kacamataku. Aku mundur beberapa langkah. Kuatur kamera dan mencoba membidik objek di depanku. Sebuah objek, bentuk keharmonisan sebuah keluarga. Aku tersenyum sekilas, 'yey berhasil juga dapat angel-nya'. Ku coba mencari objek lain. Pandanganku berhenti di sebuah objek baru. Namun tanganku tak mau juga memencet tombol untuk menjepret objek yang sudah kudapat. Yaa.. Objek itu 'kamu'
"Hai?" sapamu girang menghampiriku. Aku hanya tersenyum dan mengangguk. "Sama siapa kamu ke sini Fen? Udah dari tadi kah?" kau lanjutkan pertanyaanmu. Seolah kau tak tahu seperti apa debur ombak di hatiku saat ini, ahh...
"Sendiri aja, Bi. Kamu sendiri?" Sebenarnya tak perlu ditanyakan kamu juga sudah tahu bukan Abi datang dengan siapa Fen? Sergah batinku miris.
"Aku sama Prita. Hehe.. Kok tumben sendiri aja? Biasanya sama temen-temen kantor yang lain kan Fen?" Bi, aku masih suka mengamatimu dari sudut ruangan yang sama, sejak 2 tahun yang lalu. Batinku melirih.
"Biasa, lagi hunting Obi-obi yang fresh. Kalau di pantai kan banyak yang oke biasanya," Sebenarnya aku ke pantai karena di sinilah tempatku meramu kenangan, tentu saja antara kita Bi. Ohh iya, mungkin kau sudah lupa kejadian 2 tahun yang lalu ya? Boleh aku bernostalgia sebentar Bi dengan kenangan kita tempo dulu? Aku hanya ingin kau terus bercerita, sembari aku manggut-manggut mendengar ceritamu, aku akan berselancar sebentar ke masa lalu, saat di mana kau mulai mengenalkanku pada pasir dan segenggam hati.

Waktu itu belum mendekati senja, masih jam 4 sore. Aku berlari dan tak sengaja menubruk tubuhmu yang kekar. Aku jatuh terjerembab dan pingsan begitu saja. Seketika aku tak mengingat apapun. Dan sewaktu aku membuka mata, ada orang asing di samping tempat tidurku.
"Maaf, tadi kamu nabrak saya langsung pingsan, makanya saya langsung bawa kemari,"katamu dengan raut wajah khawatir. Aku masih diam dan ketakutan. "Tenang saja, saya tak ada niat buruk. Saya hanya ingin membantu kamu. Kenalkan, saya Abi." Kau ulurkan tanganmu dengan sebongkah senyum yang menurutku seperti "es", iya macam es, langsung buat hatiku ayem. Wajahku mungkin merona kala itu Bi.
Aku menyambut tanganmu. Hangat. "Panggil saja Feny," jawabku singkat.
"Ohh iya, salam kenal. Dan maaf kalau saya tadi nabrak kamu sampai kamu bisa pingsan."
"Saya yang harusnya minta maaf. Saya lari-lari tak melihat jalan. Jadinya nubruk deh,"kilahku sambil tersenyum kecut.
"Tapi kamu tak apa-apa kan? Mungkin tadi cuma kaget saja ya?" Aku hanya mengangguk perlahan. Raut mukamu lucu Bi waktu itu. Kau terlihat khawatir sekali.
"Ya sudah kalau gitu. Besok hati-hati ya kalau lari, biar gak nubruk orang lagi." Kau tahu Bi? Sejak saat itu aku tak pernah berlari di pantai.
"Iya, makasih juga sudah mau menolong saya." Aku tersenyum.
"Iya sama-sama. Saya pamit dulu. Sudah ditunggu teman-teman untuk pulang. Kamu pulang sama siapa nanti?"
"Saya datang ke sini sendiri kok. Jadi nanti pulang juga sendiri." Aku beranjak dari tempat tidur. Rasanya ingin segera pulang.
"Atau mau saya antarkan pulang?" Aku cuma melongo. Baru kali ini ada orang yang beberapa menit yang lalu kenalan, dan sekarang sudah mau mengantarku pulang. Dunia sudah edan rupanya. Dia tak tahu bapakku seperti apa kalau sampai anak perempuannya diantar laki-laki pulang ke rumah. Bakal ada keributan besar pasti nantinya.
"Tak usah. Saya bisa pulang lah sendiri. Lagian sudah baikan juga ini badan saya," kataku pelan.
"Baiklah, hati-hati ya Fen. Bye!" Kau melangah keluar kamar. Baru sadar kalau sedari tadi aku di kamar penginapan. Aku langsung bergegas memberesi barang-barangku dan juga merapikan baju. Setengah berlari aku menuju meja Receptionist.
"Maaf mbak, untuk kamar Flamboyan bayar berapa ya?" tanyaku sambil mengeluarkan dompet.
"Ohh kamar Flamboyan sudah dibayar." Aku melongo lagi. Abi kah yang membayarkan?
"Maaf, boleh tahu siapa yang bayarkan? Bapak Abi?" tanyaku penasaran.
"Iya, Ibu. Yang tadi membayarkan atas nama Bapak Abi Laksmono."
"Ya sudah mbak. Makasih ya." Aku berlalu dari penginapan itu. Aku harus bisa bertemu dengan Abi lagi ini, desah batinku.
Kau tahu Bi? Setelah pertemuan pertama itu, aku hanya berharap bisa bertemu denganmu lagi. Rupanya doaku terjawab. Dan hingga kini kita sering bertemu, karena rupanya kita bekerja di perusahaan yang sama. Hanya saja berbeda departement. Ahh.. Rupanya aku tak pernah tahu tentangmu Bi.
Waktu berjalan begitu cepat. Saat kutahu, ternyata kau sudah memiliki kekasih. Seketika ngilu menghujani hatiku. Yaa.. Karena sejak awal aku sudah simpati padamu aku mulai menyukai semua hal yang ada padamu. Terutama senyuman mautmu itu. Ahh.. Lagi-lagi aku harus menekan rasa sakitku, agar sedikit terobati tiap kali melihatmu dengan wanita itu, Prita, teman sekantorku, dan juga rivalku di kantor. Aku baru tahu sebulan setelah pertemuan kita, kau mulai bercerita tentang Prita.
Kau tahu Bi rasanya seperti apa tiap kali kau mulai membicarakan tentang dia. Aku tak ingin ada dia dalam pembicaraan kita Bi, ujar batinku pelan. Tapi kau terus saja bercerita.
Daun menguning, pohon cerry di samping kantorku mulai rindang daunnya. Padahal dulu, dia serupa cintaku. Masih kecil. Berbarengan dengan tumbuhnya pohon cerry itu, tumbuh pula lah cintaku. Tak perlu cinta yang diucap. Karena aku hanya bisa mencintaimu dalam jarak jauh. Aku tak pernah menuangkan pupuk apapun. Namun kau selalu menyiram benih-benih itu dengan sosokmu yang mulai kukagumi. Pekerja keras, cerdas, ramah, dan down to earth banget. Meski jabatanmu sebagai Manager, kau tak membedakan ruang lingkup pertemananmu. Hingga tukang ojek depan perusahaan pun sampai hafal denganmu. Ahh.. Aku makin kagum padamu Bi. Tapi lagi-lagi aku harus sadar diri saat Prita menghampiri ruanganmu membawa bingkisan makan siangmu. Prita itu belum istrimu kan Bi? Lalu aku menyibukkan diri dengan pekerjaanku.
Dan sekarang di sinilah aku. Di bibir pantai, berdiri sejajar denganmu. Membiarkan air laut menjilati jari-jari kakiku. Menenggelamkan perlahan. Dan kita melompat bersama saat ombak yang agak besar datang ke arah kita. Lalu kita tertawa dan kembali diam.
"Fen, sebentar lagi aku pindah tugas ke Makassar." Cetarrrrrrrrrr... Bagai petir di siang bolong. Aku kaget, tentu saja!
"Pak Andre memintaku memegang anak cabang Defiant Group di Makassar. Besok Rabu aku berangkat. Doakan aku ya, agar semua lancar di sana." Aku mengenal sosok itu. Mata berbinar semangat yang berapi-api, juga cahaya optimis yang selalu memancar dari tiap pembawaanmu.
Aku hanya mengangguk dan mencoba tersenyum.
"Jaga diri kamu baik-baik Fen. Aku pasti bakal kangen dengan Obi-obi kamu,"katamu sambil tersenyum. Ahh, aku pasti bakal kangen senyuman maut itu, ujar batinku lirih, bahkan sangat lirih.
"Aku masih penasaran, kenapa kamu namai hasil jepretanmu dengan nama 'obi-obi' itu? Tiap kali kutanya apa itu 'obi' kau pasti tak mau menjelaskannya Fen?" katamu sedikit kecewa.
"Gak ada yang tahu tentang 'obi-obi' ku ini. Bukan hal penting kan? Jadi biar saja tetap kusebut 'obi-obi'," sergahku mencoba tetap tenang. Andai kau tahu Bi,'obi-obi' itu jelas dari namamu, singkatan dari 'objek Abi'. Yaa, karena sebagian besar objekku adalah kamu. Tentu saja kuambil tanpa kau ketahui.
"Baiklah, kalau kamu memang tak mau memberi tahu." Kau menyerah sekarang Bi.
"Jaga dirimu baik-baik di sana Bi. Semoga sukses selalu," mulutku hanya mampu melontarkan dua kalimat itu saja. Rasanya perih sekali. Aku tak bisa lagi mengambil 'obi-obi' ku lagi.
"Iya Fen, thanks before." Aku.mengangguk pelan.
"Prita gimana Bi?"
"Yaa terpaksa LDR Fen. Semoga aja bisa saling percaya. Ohh ya, mana cowokmu? Aku gak pernah ada lihat kamu jalan sama cowok Fen?" Kau masih tanya Bi? Cowok itu kamu, andai saja kau mampu membaca mataku. Ahh.. Tapi tetap saja kau tak akan tahu. Kau sendiri yang bilang, aku orangnya susah ditebak.
"Semoga segera dapet lahh aku nya, hehe," aku jawab sekenanya aja. Kau mungkin memang tak akan pernah tahu.
"Oke kalo gitu. Nanti aku bantu carikan lahh.. Haha," Aku hanya ingin kamu, Bi, desah batinku pelan.
"Baiklahh..."
Senja mulai menghangatkan bibir pantai. Semburat jingga meneleti langit di ufuk.barat. Saat inilah yang paling kutunggu. Abi sudah berlalu dari tadi. Kini hanya tinggal aku dan sebuah ucapan perpisahan darimu.
Rasanya perih. Namun mataku sepertinya tak mau menumpahkan buliran beningnya. Cukuplah hati yang perih, tak perlu lagi ditambah mata yang pedis menahan tangis.

You May Also Like

0 comments

Allah dulu, Allah lagi, Allah terus. ALhamdulillah